Menuju kelas dunia dengan sistem PNS: laporan hari kedua

>> Sabtu, 17 Juli 2010

Saya sangat terkejut mendengar berita sekaligus pertanyaan dari pewawancara. Kata beliau: “Seleksi CPNS kali mewajibkan semua pelamar yang terpilih untuk mulai bekerja pada 1 Januari. Semua CPNS wajib hadir dan menandatangani absen setiap hari selama setahun. Setelah setahun baru kemudian akan diangkat menjadi PNS bila hasil evaluasi kinerjanya baik. Apakah anda siap untuk hadir pada tgl 1 Januari?”.
Saya benar-benar termenung mendengar informasi baru ini. Kok ITB melakukan rekrutmen dosen sama seperti melakukan rekrutmen sopir, hari ini wawancara besok mulai kerja? Artikel ini masih melanjutkan topik kemarin, yaitu mengulas masalah status PNS yang menghambat laju ITB menjadi pemain kelas dunia.

Siklus rekrutmen universitas
Kalau saja benar bahwa aturan itu (bahwa CPNS dosen ITB harus hadir pada 1 Januari 2008) memang ada, maka siapapun yang membuat aturan ini memang terbiasa merekrut sopir, tapi belum pernah merekrut dosen. Universitas di manapun selalu mempunyai siklus utama yang sama yaitu tahun ajaran/akademik. Dalam rekrutmen dosen di manapun (kecuali rekrutmen dosen CPNS), kalau wawancaranya bulan November maka kandidat akan diminta mulai bekerja paling cepat tahun ajaran berikutnya, yaitu bulan Agustus/September berikutnya. Itu minimal.
Di universitas kelas dunia yang terkenal seperti Harvard, waktu tunggu dua tahun itu biasa. Kenapa biasa? Universitas kelas dunia seperti itu, yang mereka terima pun kandidat yang reputasinya kelas dunia. Kandidat seperti itu tidak akan mungkin bisa bergabung di tempat baru dalam hitungan dua-tiga bulan.
Bagaimana mungkin bisa? Ketika menghadiri wawancara, sang kandidat masih terdaftar sebagai staf pengajar di universitasnya saat itu. Di semester berikutnya pun dia masih punya kuliah yang harus diajarkan. Kuliah itu tidak mungkin bisa dibatalkan begitu saja semata-mata hanya karena sang kandidat dapat kerja di ITB. Baru di tahun ajaran berikutnya dia tidak lagi tercantum sebagai pengajar mata kuliah.
Tapi urusannya tidak selesai di situ, masih ada proyek penelitian. Sebagian besar penyandang dana ingin agar sang kandidat menyelesaikan proyek penelitian itu di institusi yang lama. Apalagi kalau institusi yang lama juga terlibat dalam pendanaan. Proyek penelitian ini tidak bisa ditinggalkan begitu saja. Kalau sang kandidat melarikan diri dari proyek sebelum selesai, tentu saja namanya jadi jelek di kalangan dunia penelitian. Kalau ini terjadi, ITB pun tidak ingin menerima kandidat yang seperti itu.
Karena itu jawaban saya kepada pewawancara adalah tegas: tidak bisa! Tidak mungkin saya hadir secara fisik di ITB pada mulai tanggal 1 Januari 2008 sementara saya masih harus memberi kuliah di spring semester yang dimulai bulan Januari mendatang.
Kalau benar memang ada aturan seperti itu, coba anda bayangkan siapa sih yang bisa memenuhi aturan itu? Kelompok pertama adalah kelompok “maganger”, yaitu mereka yang memang sudah “magang” jadi staf pengajar di ITB walaupun tanpa status PNS. Mereka ini tanpa disuruh pun memang sudah ada di ITB. Kelompok kedua adalah mereka yang memang baru lulus S3 dan masih mencari kerja. Di luar kedua kelompok ini, sulit rasanya membayangkan ada seseorang dengan kualifikasi S3 dan bisa dengan mudah hadir untuk mulai bekerja pada tanggal 1 Januari 2008.
Sekali lagi, kalau memang benar ada aturan seperti itu. Bisa jadi pertanyaan itu adalah karangan pewawancara yang ditanyakan sebagai trik wawancara. Tapi sekalipun itu adalah trik wawancara, saya ingin menggarisbawahi satu hal tentang sistem rekrutmen dosen CPNS: bahwa kerangka waktu dan tata cara rekrutmen tidak sepenuhnya dikontrol oleh ITB, tetapi masih diatur oleh sistem seleksi CPNS.
Ini tentu saja menghambat langkah ITB untuk menjadi pemain kelas dunia. Banyak sekali sebenarnya ilmuwan Indonesia yang bekerja di berbagai institusi di seluruh dunia yang ingin pulang untuk bekerja di ITB. Tetapi aturan-aturan yang dibuat oleh sistem seleksi CPNS sungguh sangat merepotkan bagi mereka yang sudah terbiasa mengirimkan lamaran lewat email dan wawancara lewat video conference.
Hari gini masih tanda tangan absen?
Hal kedua yang membuat saya terkejut dari informasi pewawancara adalah masalah tanda tangan absen. Apa benar ITB masih mewajibkan tanda tangan daftar hadir bagi para dosen? Di jaman internet ini masih tanda tangan absen?
Saya sejak bekerja sebagai asisten di National University of Singapore hampir sepuluh tahun yang lalu, dan kemudian pindah ke beberapa universitas lain di tiga benua, saya tidak pernah lagi menandatangani daftar hadir setiap hari. Lhah, kok di ITB masih aturan jaman baheula ini ternyata masih berlaku?
Yang membuat saya lebih terperangah adalah pendapat sang pewawancara yang mengatakan bahwa kehadiran secara fisik itu tentu agar kinerjanya bisa dinilai. Sejak kapan kinerja itu dikaitkan dengan kehadiran secara fisik. Mungkin untuk supir ini masih berlaku, tetapi untuk dosen ini aturan jaman purba yang sudah harus ditinggalkan.
Dalam teori SDM kontemporer, kinerja seseorang itu tidak berkaitan dengan kehadirannya secara fisik di suatu tempat tertentu. Teori ini diimplementasikan di banyak negera maju yang membolehkan pegawainya untuk bekerja di rumah, tidak perlu pergi ke kantor.
Di Belanda, pegawai universitas termasuk dosen diberi kemudahan dalam bentuk kredit komputer, agar pegawai tersebut dapat thuiswerken, bekerja di rumah. Di Amerika bahkan ada program yang membolehkan pegawai negeri (state employee) untuk bekerja di rumah untuk mengurangi kemacetan lalu lintas.
Dalam kesempatan kali inipun, ketika harus pulang ke Indonesia untuk seleksi CPNS, status saya adalah tetap bekerja (tidak cuti). Saya bisa bekerja di mana saja asal ada komputer dan koneksi internet. Kalau harus meeting bagaimana? Tinggal cari hubungan internet yang cukup kencang, terus pakai fasilitas conference call dari Skype, gratis lagi. Dengan cara begitu saya bisa asik bekerja sambil ngopi di Starbucks di BIP, sambil menikmati koneksi internet gratis dari Melsa.
Tentu saja bukan berarti saya bisa seenaknya saja bekerja tanpa laporan. Saya tetap harus melaporkan, lagi-lagi lewat internet (tanpa perlu hadir dan tanda tangan), sudah berapa jam saya bekerja dan untuk proyek yang mana.
Untuk kalangan profesional seperti dosen, sudah tidak jamannya lagi mengisi daftar hadir dengan tanda tangan setiap hari. Kinerja dosen bisa dengan mudah diukur tanpa harus memakai tanda tangan. Bukankah kita sudah punya standar output yang dijadikan ukuran kinerja?
Mari kita lihat. Output di bidang pengajaran adalah kehadiran di kelas. Sekali lagi, kehadiran di kelas pun tidak mengharuskan dosen dan mahasiswa berada di ruangan yang sama. Mahasiswa bisa di Bandung, dosen bisa di rumahnya di Amerika (sambil pakai piyama karena di Amerika sudah malam kalau di Bandung siang). Di Amerika pun, bahkan dalam universitas yang sama, lab kami di Boise mengadakan kuliah yang dihadiri oleh mahasiswa di kota lain lewat video streaming.
Mahasiswa tetap wajib menghadiri kuliah, dosen tetap wajib memberi kuliah, tetapi keduanya tidak harus berada di ruangan yang sama. Lhah, inikan jaman internet.
Bagaimana mengukur kinerjanya? Kan sudah ada evaluasi mahasiswa, di mana mahasiswa wajib melakukan evaluasi terhadap kinerja dosen sebelum sang mahasiswa mengikuti ujian. Dosen yang sering membatalkan kuliah akan kena hajar dalam evaluasi. Kan juga ada hasil ujian, yang bisa dievaluasi oleh dosen yang lain (peer-review).
Output di bidang penelitian tentu lebih mudah lagi dalam melihat kinerjanya. Ada tidak laporan penelitiannya, baik laporan perkembangan maupun laporan akhir? Ada tidak publikasi yang dihasilkan dari penelitian itu? Kalau ada bagaimana kualitas medium publikasinya? Kalau hasil penelitiannya dimuat di jurnal internasional, tentu sudah jelas bahwa penelitian itu berhasil dengan baik, karena artikel di jurnal internasional sudah di-review oleh reviewer internasional pula.
Output di bidang pengabdian masyarakat pun tidak sulit untuk mengukur kinerjanya. Dan yang paling penting, kesemua kinerja itu bisa diukur tanpa perlu hadir dan menandatangani daftar hadir setiap hari.
Kontribusi jarak jauh
Sang pewawancara masih kurang puas dan terus mengejar dengan pertanyaan, “Kalau ITB memerlukan anda sebelum anda bisa hadir di Bandung, apa yang akan anda lakukan?” Di titik ini kita semua harus bertanya, apa tugas dosen ITB yang tidak bisa dilakukan dari luar Bandung?
Mari kita ambil contoh: bimbingan tugas akhir. Di jaman internet ini, bimbingan tugas akhir bisa dilakukan online dari mana saja. Tanpa diketahui sang pewawancara pun, saya sudah melakukan bimbingan tugas akhir untuk mahasiswa ITB sejak semester lalu. Dan itu saya lakukan sementara saya bekerja di Amerika.
Dengan fasilitas dari Skype, saya hanya perlu sekitar empat dolar untuk berbicara selama seratus menit ke Bandung, sedikit lebih mahal dibandingkan dengan segelas kopi di Starbucks. Selama berbicara, sayapun dapat melihat layar komputer mereka, dan mereka bisa melihat layar komputer saya, sehingga diskusi bisa lancar.
Contoh yang lain: kuliah jarak jauh. Ini sudah dibahas di atas, secara teknologi sudah mungkin dilakukan dengan harga murah. ITB punya banyak alumni yang jadi pakar di bidangnya masing-masing yang tersebar di seluruh dunia. Kalau ITB sampai saat ini belum pernah meminta mereka untuk menjadi dosen tamu, ini saja sudah menjadi suatu kemubaziran.
Fungsi administratif sajalah yang mungkin paling sulit dilakukan dari jarak jauh, walaupun tidak mustahil. Sudah banyak contoh-contoh yang menunjukkan bahwa fungsi administratif bisa dilakukan secara jarak jauh.
Bahwa kemungkinan kontribusi jarak jauh seperti ini masih dipertanyakan di ITB, ini justru menjadi tanda tanya besar. Misalnya, mengapa ITB belum punya pusat komunikasi yang memungkinkan kuliah dan pertemuan jarak jauh? Semuanya ini harus sudah menjadi perlengkapan standar bila ITB ingin menjadi universitas kelas dunia.
Sebagai penutup saya perlu menjelaskan satu hal, yaitu mengapa saya menuliskan semua hal di atas? Jawabannya tentu saja bukan untuk menjustifikasi agar saya diterima sebagai dosen ITB sekalipun tidak bisa segera mulai bekerja dalam waktu dekat. (Walaupun saya akan bersyukur sekali kalau bisa diterima). Alasan yang lebih penting lagi adalah karena saya ingin menunjukkan bahwa sistem CPNS lebih banyak menjadi penghambat bagi ITB dalam meraih cita-citanya menjadi universitas kelas dunia.
Tanpa terkait dengan sistem PNS, ITB akan lebih terbuka dalam menentukan sistem seleksi, sistem promosi, serta sistem SDM secara umum, yang lebih mencerminkan praktek-praktek terbaik dari universitas kelas dunia. Bukan mencerminkan sistem yang sangat tidak efisien, seperti sistem SDM a la pegawai negeri sipil.

0 komentar:

Back to TOP